Minggu, 26 Februari 2012

Jangan Bersedih-La Tahzan



Sore itu,
Parjo seorang buruh bangunan tengah sibuk memasukkan barang-barangnya kedalam kardus indomie. Esok, dia akan kembali ke kampong halamannya di pemalang – jawa tengah. Ia merasa tabungannya sudah cukup untuk modal usaha di kampong halamannya. Ia tak ingin selamanya terpisah jauh dengan Istri dan anaknya.
Pak darto mandor yang mempekerjakan parjo muncul dari balik pintu kamar parjo  yang sangat sederhana, hanya beralaskan tikar dan lemari plastic di ujung ruangannya.
“jo…kamu yakin mau pulang”,ucap pak darto.
“injihh pak…saya sudah yakin mau pulang”,ujarnya. Saya kangen sama istri dan anak saya pak”,lanjut pria paruh baya itu dengan tatapan mata penuh kerinduan.
Y owes yen ngunu, ini tiket kapalmu dan gaji bulan ini sama sekalian bonus dari ku karena kamu sudah bekerja dengan sangat baik disini jo”,ucap pak darta memberikan amplop coklat berisikan uang dan satu lagi amplop putih berisi tiket kapal pulang ke jawa.
“alhamdullilah….matur nuwun nggih pak darto”,ujar parjo menciumi amplop itu.
Bagi Parjo uang itu sangat berarti baginya. Ia ingin sekali membahagiakan istri dan anaknya. Untuk itu ia rela harus merantau ke tanah borne, jauh  dari orang-orang yang ia sayangi sebagai buruh bangunan. Membanting tulang, bertemankan terik matahari, dan tak jarang harus mempertaruhkan nyawanya untuk  bekerja digedung-gedung tinggi .
Tiga hari kemudian
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh selama 3 hari 3 malam dengan menggunakan kapal akhirnya parjo sampai juga di kampong halamannya pemalang. Ia sudah tidak sabar ingin segera memeluk istri dan anaknya untuk melepas rindu yang bertahun-tahun tlah ia pendam. Rindunya membuncah terutama kepada buah hatinya, Ardian. “Dulu waktu di tinggal merantau, Ardian masih berumur setengah tahun, pasti sekarang sudah besar dan tumbuh jadi anak yang pintar”,begitu kata parjo dalam hati.
Parjo sudah berada di halaman depan rumah nya. Matanya berbinar dan senyumnya mengembang ketika mendapati seoarang anak laki-laki berumur sekitar 4 tahun sedang bermain-main di teras rumahnya.
“itu pasti ardian anakku”,ucap parjo dalam hati lalu melangkahkan kakinya menuju teras.
“Nak….ini ayah”,ujar parjo sembari memeluk anaknya. Air matanya menetes ketika si anak juga memeluk erat dirinya.
“mana ibu nak, ayok kita masuk, ayah belikan mainan buat kamu”,ujar parjo menggendong buah hatinya.
bu…ibu….ayah pulang bu, buka pintunya”,teriak parjo menggedor-gedor pintu.
Seorang perempuan paruh baya keluar dari rumah parjo. Tapi anehnya perempuan itu bukan sukemi istrinya melainkan Bu Titik tetangganya.
“ada apa ini”,pikir parjo.
“Pak Parjo….”,ucap perempuan itu kaget melihat kedatangan parjo.
“Iya bu, ini saya parjo”,ucap parjo menyalami perempuan tetangganya itu. “bu….sukemi kemana?”,tanya parjo kebingungan.
Perempuan itu terdiam, seperti ada yang di tutup-tutupin dari ku. Ada apa dengan sukemi?apakah dia meninggal?”,pikir parjo.
Ia baru ingat, dua bulan terakhir ini, sukemi memang sedikit berbeda dari biasanya. Ia jarang sekali menelpon atau membalas surat dariku. Apakah ini semua ada hubungannya?
“bu…ada apa dengan sukemi istri saya?”,tanya parjo. “katakana pada saya bu”,parjo memohon. Guratan wajahnya terlihat kekhawatiran terhadap istrinya.
“Baiklah pak, saya akan ceritakan semua pada bapak”,ujar perempuan itu. Tapi saya minta bapak yang sabar ya”,
Parjo semakin penasaran dengan apa yang di bicarakan bu titik pada dirinya “iya bu iay, katakana dimana sukemi”,ucap parjo.
“ayah….ibu pergi dari rumah”,ucap ardian yang membuatnya terkejut.
“apah nak, ibu pergi kemana”,ucap parjo dengan nada sedikit tinggi.
Pak, sekitar dua bulan yang lalu, sukemi pamit akan pergi untuk menjadi pembantu rumah tangga di kota, ia hanya menitipkan ardian pada saya”,ucap Bu titik.
buat apa kerja, apakah kurang uang yang selama ini saya kirimkan untuk dia dan anak saya?”,ucap parjo tak habis pikir.
“saya nggak tahu pak, cuman dia pernah bilang ke saya bahwa selama ini bapak nggak pernah memberikan dia nafkah”,ucapan bu titik.
“astagfirullah bu….itu tidak benar. Saya nggak pernah telat kirim uang”,ujar parjo.
Bu tuti menunduk, ia tak sanggup untuk berkata-kata lagi.
“lalu, kemana dia sekarang bu”,ujar parjo.
“Saya nggak tahu pak dimana dia sekarang, sebulan yang lalu saya ketemu dia. Dia cuman bilang ke saya bahwa dia sudah tidak sanggup lagi menghidupi ardian , ia bilang ingin menikah dengan pria yang bisa memberikan dia nafkah lahir dan batin. Dan sebagai gantinya, sukemi memberikan rumah ini beserta sertifikatnya untuk biaya Ardian sampai nanti”,ujarnya dengan suara sedikit tercekat. Takut kalau-kalau parjo tidak bisa menerima kenyataan hidup yang pahit ini.
“astagfirulloh, Gusti Allah mboten Sare”,ucapnya sembari mengelus dada. DIA tahu bagaimana saya berjuang diantara hidup dan mati, membanting tulang untuk membiayai keluarga saya bu”,lanjut parjo sembari meneteskan air matanya.
 “Sabar ya pak. Saya akan kembalikan rumah bapak, saya ikhlas pak dititipi ardian, ardian sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri”,ujar bu titik . Bapak khan tahu kalo saya tidak bisa punya anak, jadi bagi saya ardian adalah karunia Allah SWT yang tak pernah ternilai harganya”,lanjutnya yang di susul dengan isakan tangis.
Sungguh, aku tak pernah mengerti setan apa yang merasuki istriku sukemi. Dia adalah perempuan yang aku nikahi lima tahun lalu. Ketika itu aku merasa iba terhadap dirinya yang hidup sebatang kara di dunia ini. Karena aku mencintainya dan niatku tulus ingin membantu dirinya, aku berjanji di hadapan Allah SWT untuk senantiasa menjaga dia, meskipun waktu itu aku hanyalah seorang buruh tani yang penghasilannya tak seberapa.
Di rumah peninggalan orang tua ku inilah aku menjalani hari-hariku bersama sukemi istriku. Hingga setahun kemudian Allah SWT mengkaruniai kami seorang anak laki-laki. Kuberi nama dia “Ardian”, aku berharap kelak dia akan menjadi anak yang sholeh dan pintar, tidak seperti aku ayahnya yang cuman bisa jadi buruh.
Semakin hari, kehidupan kami semakin sulit saja. Kemiskinan menggerogoti keluarga kami, padahal waktu itu ardian masih bayi,  ia membutuhkan susu dan makanan bergizi untuk menunjang pertumbuhannya. Aku sebagai seorang ayah bertanggung jawab untuk menafkahi anak dan istriku. AKu berusaha dan terus berusaha untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Akhirnya kuputuskan untuk pergi merantau di tanah borneo sebagai buruh bangunan atas ajakan Pak Darto temanku. Aku meminta ijin pada sukemi istriku untuk mencari nafkah di negeri orang, aku berjanji padanya ini tak akan lama. Sukemi pun mendukungku. Sedikit demi sedikit aku kumpulkan uang hasil jerih payahku lalu ku kirimkan kepada sukemi. Sebagian untuk biaya hidup sehari-hari dan sebagian untuk di tabung.
“buk…tabungannya sudah terkumpul banyak ya”,tanyaku melalui telpon, sehabis mengirimkan uang ke rekening tabungan sukemi.
“alhamdullilah pak, uangnya sudah banyak”,jawab sukemi waktu itu.
“syukurlah bu, bisa kita gunakan untuk masa depan anak kita”,jawabku.
iya pak, bapak kapan pulang?”,tanya sukemi.
“sabar buy a?bapak akan segera pulang kalau uang tabungan kita sudah terkumpul banyak”,ujarku menahan tangis.
“Kalau sudah banyak mau di pakai buat apa pak”, ucap sukemi dengan suaranya yang lembut.
“ya, nanti kita pakai buat usaha aja bu, usaha warung makan atau toko gitu bu agar kita bisa berkumpul lagi”,jawab bapak dengan penuh semangat.
“baiklah pak, kami akan menunggumu disini”,ucap sukemi sekaligus mengakhiri pembicaraan kami karena pulsa yang saya beli untuk menelponnya sudah habis.


Kini harapan itu tlah sirna, hatiku hancur berkeping-keping. Sakit dan Sakit yang aku rasakan saat ini. Semenjak itu aku seperti kehilangan semangat untuk hidup, yang ku lakukan hanya berdiam diri saja di rumah itu. Aku semakin terhanyut dalam kesedihan ini, sehingga tak banyak waktuku terbuang percuma.
Suatu hari ketika aku sedang termenung sedniri di belakang rumahku. Ardian mendatangiku, ia usai ngaji di masjid kampong sebelah bersama anak-anak seusianya.
“ayah…ngapain disitu”,ucap ardian mengagetkanku.
“eh anak ayah sudah pulang?”, ucapku .
“Iya yah”,jawab ardian sambil mencium keningku.
“tadi di ajarin apa sama pak ustad?’,tanyaku.
“ayah ustad mengajarkan padaku agar kita selalu bersabar dan jangan pernah bersedih atas kesulitan hidup yang kita alamai, kata ustad La Tahzan”,ujarnya.
“hmmmmm, gitu”,ucapku.
 “ayah… La Tahzan, jangan bersedih meskipun ibu tak ingin lagi bersama kita”,ujar Ardian.
“ardian akan selalu menemani ayah”,lanjutnya kemudian.
Mendengar ucapan itu, aku menjadi tersentuh. Aku malu pada anakku, juga pada Allah SWT. Sebegitu rapunya kah aku?hingga aku harus terus terpuruk dalam kesedihan. Bukankah Janji ALLAH itu tak perlu di ragukan lagi?Ya, janji Allah itu PASTI. Semua itu tertulis dalam sebuah kitap suci Al quran.
Ya Allah, aku malu, aku malu pada Mu.
“mulai hari ini ayah janji tidak akan bersedih lagi nak”, janjiku pada ardian.
Akhirnya Parjo dan Ardian memulai hidupnya yang baru. Parjo bekerja sebagai sopir truk, ia memulai kehidupannya dari nol lagi bersama buah hatinya. Ketika libur sekolah, Parjo selalu membawa Ardian ikut dengannya saat bekerja.

Based On True Story "Supir Truk itu"

0 komentar:

Posting Komentar