Minggu, 26 Mei 2013

Kedai Kopi





10 Januari 2011
Di kedai kopi, Leticia, 25 Tahun.  Duduk menyudut di sofa empuk favoritku, bersebelahan langsung dengan jendela kaca besar, yang memisahkannya dengan aktivitas kota di luar. Secangkir Vanila Latte dan sebuah laptop di meja masih setia menemaniku, menikmati senja dari balik jendela kaca kedai kopi. 

Aku menyandarkan punggung di sofa, menyesap vanilla latte pesananku beberapa kali. Di luar warna langit yang semula membiru kini berubah warna kuning keemasan. Sesekali ku lihat rombongan burung melintas di atas. Suasana yang seperti ini akan sangat tepat untuk menulis sebuah cerita. Maka, aku membiarkan jemariku menari lincah di atas keyboard. Membiarkan segala imajinasi di dalam otakku mengalir dengan indah. Tidak bergeming.
~@@@~
Di kedai kopi, Darren, 29 tahun. Untuk pertama kalinya Darren terduduk di sebuah sofa empuk kedai kopi untuk mencicipi secangkir kopi panas di perbatasan kota. Aku tak tahu dorongan kuat apa yang menarikku untuk mampir di tempat minum di pinggir jalan ini.
Kedai kopi itu memberikan kesan nyaman, dengan beberapa meja dan sofa empuk untuk berdua. Aku memesan secangkir Ekspresso, dan ketika menunggu pesananku itulah mataku tertuju pada seorang gadis yang duduk di pojokan kedai kopi, bersebelahan dengan jendela kaca, yang menampilkan pemandangan sore itu. 

Gadis berkaos pink itu sudah mencuri perhatianku sejak lima menit yang lalu. Sedari tadi Ia duduk di sofa itu dengan sebuah laptop di atas meja. Tidak bergeming. Jemarinya asik menari-nari di atas keyboardnya. Siluet tubuhnya yang terlumuri temaram senja membuatnya nampak sempurna.
Apa yang sedang ia kerjakan?aku sungguh penasaran..
Aku terdorong untuk mengamatinya lebih seksama lagi. Ia memiliki wajah unik, yang merupakan gabungan antara unsure timur dan barat. Mulai dari warna rambutnya yang hitam panjang, kulitnya yang putih, matanya yang berwarna kelabu, hingga tinggi badan yang melebihi ukuran tinggi badan wanita asia pada umumnya. !80 cm mungkin. 

 Hei, gadis apa yang sedang kau kerjakan?aku semakin di buat penasaran olehnya.

Sesekali aku berharap Ia akan menoleh ke arahku dan mendapatiku sedang menatapnya, lalu tersenyum padaku. Sayangnya dia masih dengan posisi yang sama ketika aku mengamatinya pertama kali. Sebenarnya bisa saja aku terus memandangi gadis itu, kalau saja aku tidak sedang berjanji bertemu dengan seseorang hari itu.
~@@@~

11 Januari 2011.
Kedai Kopi, Luticia, 25 tahun. Hampir petang. Leticia baru saja mendorong masuk pintu kaca kedai kopi. Dengan sebuah tas punggung yang menempel di bahunya. Ia mencari tempat duduk untuk segera melepas lelahnya setelah seharian bergelut dengan peluh. Satu hal yang ia periksa adalah tempat duduk favoritnya, sebuah sofa empuk di pojokan, di sebelah kaca jendela. Di sana kosong, di kedua sofanya masih belum terisi oleh pengunjung. Maka, tanpa harus menunggu terlalu lama, aku bergegas menuju ke meja incaran. Namun saat aku hendak meletakkan tasku, tetiba ada seorang pemuda lebih dulu duduk di tempat duduk incaranku.

Kami berhadapan, lalu saling melempar senyum. 

“Maaf, tuan. Silahkan kau lebih dulu duduk di meja ini.” Ujarku pada sosok jangkung yang berdiri di hadapannya itu. Dan kurasa ia tak mengerti apa yang kuucapkan barusan, lantas aku mengulangi ucapanku dengan menggunakan bahasa inggris.
~@@@~
Kedai kopi, Darren, 29 tahun. Hampir petang. Darren sudah mendapatkan pesanannya : secangkir Eksrpreso panas setelah sekian lama mengantri di meja kasir. Ia melihat ke sekeliling ruangan, mengamati tempat duduk mana yang belum terisi. Tempat duduk di pojokan kedai kopi. Di sana kosong. Maka, tanpa harus menunggu terlalu lama, aku bergegas menuju ke meja incaran. Namun seketika itu aku merasa ada seorang gadis yang mengincar tempat duduk yang sama. 

Kami berhadapan, lalu saling melempar senyum.
“Maaf, tuan. Silahkan kau lebih dulu duduk di meja ini.” Ucap gadis bermata kelabu itu dan entah dia menggunakan bahasa apa, aku tak begitu jelas mendengarnya.
“Apa?” ujar Darren dengan alis sedikit terangkat.
“Ya, kau lebih dulu duduk dimeja ini, mungkin aku akan mencari meja lain.” Jawab gadis berambut hitam panjang itu. Kali ini dia menggunakan bahasa inggris.
Aku melihat ada gurat kekecewaan di wajahnya. Dengan lelah gadis itu hendak berjalan menuju kasir sambil sesekali memperhatikan sekelilingnya.
“Aku rasa kau tak akan menemukan meja kosong lain di sini,” ujarku sambil memperhatikan sekeliling, “aku tidak masalah, jika kau mau duduk di sini bersamaku.” Lanjutku menawarkan pilihan.
Gadis itu tidak langsung menjawab tawaranku, Ia nampak sedang berpikir, menimbang-nimbang tawaranku. Dua-tiga detik kemudian Ia menaruh perlahan tasnya di lantai sebelah meja.
“Terima kasih, tuan…” ucapnya sembari menatapku.
“Panggil aku Darren.” Jawabku memperkenalkan diri.
“Baiklan, tuan Darren, kenalkan aku Leticia.” Jawabnya.

Semenjak tanggal itu, keduanya sering bertemu di kedai kopi itu, menghabiskan malam sambil menikmati secangkir kopi panas yang aromanya mewangi.
~@@@~

11 Januari 2012
Kedai Kopi, Darren, 30 Tahun. Malam itu, hujan jatuh dan membasahi jalan di kota denpasar. Dan kedai kopi favorit kita itu sedang sepi oleh pengunjung. Aku dan kamu terduduk di sofa empuk di pojokan, bersebelah dengan jendela kaca kedai kopi. Secangkir ekspresso dan vanilla late panas sudah terhidang di meja, Ekspresso untukku dan Vanilla late untukmu. 

Hampir setiap malam kita menghabiskan malam di kedai kopi itu, menikmati air hujan yang meleleh di kaca jendela dengan tawamu yang berderai-derai. Kau bercerita panjang lebar tentang apapun, setelah seharian penuh bergelut dengan peluh. Seolah semua penat luruh hanya dengan duduk bersebelahan denganmu di sini. 

Tanggal terakhir dimana mereka berdua menikmati kopi bersama di kedai kopi langgan.

~@@@~
12 Januari 2012
Di kedai kopi, Leuticia, 26 Tahun. Leuticia duduk di tempat favoritnya_sebuah sofa pada meja untuk berdua, di sebelah jendela kaca, dengan pemandangan hujan di luar. Sambil mencicipi Vanilla Lattenya, Luticia mengintip waktu yang terpampang di layar telpon genggamnya. Seseorang yang ia tunggu, tak kunjung datang. 

Sekitar lima belas menit kemudian, Leuticia menghadap ke jendela kaca, dan seketika itu juga Leuticia menangkap sosok Darren turun dari bus. Leuticia tersenyum. Darren menengok kanan kiri, memastikan tak ada kendaraan yang melintas. Ia sudah hampir sampai ke pinggir saat melambaikan tangannya pada kekasihnya. Namun, entah dari mana, tiba-tiba sebuah kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi melintas di jalan itu. Dan rupanya Darren tidak memperhatikan sebelumnya. Lalu yang terdengar selanjutnya adalah suara dentuman keras. BRAAKKK!!!!

Leuticia terkejut, dan sungguh ia tak percaya dengan apa yang ia lihat di balik kaca jendela kedai kopi. Dan Akhirnya, Kedai Kopi, Darren, 30 tahun. Meninggal dunia dalam kecelakaan tragis itu.

Malam dimana, Darren, 30 tahun, meninggal dunia tepat di depan kedai kopi favorit mereka.

~@@@~
11 Januari 2013
Di Kedai kopi, Leuticia, 27 tahun. Kita duduk menyudut di sofa empuk itu, bersebelahan dengan jendela kaca kedai kopi sambil menikmati hujan yang menderas malam ini. Dan aku ingat kau selalu memesan secangkir Ekspresso favoritmu. 

Aku bisa melihat bayang dirimu, duduk di sofa di hadapanku, menyesap Ekspresso berkali-kali sembari mendengarkan aku bercerita panjang lebar tentang apapun setelah seharian penuh bergelut dengan peluh.
“Tahu kah kamu?Malam ini aku berada di kedai kopi favorit kita. Berusaha untuk menemukan kenangan bersamamu.”



Rabu, 01 Mei 2013

Perpisahan







Kuingat pada sore waktu itu, kita duduk di bangku kayu panjang, di bawah pohon Akasia, menghadap ke danau.  Kegelisahan nampak dari raut wajahmu yang biasanya terlihat santai. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, tapi entah apa, aku tak tahu. 

“Kau kenapa?”tanyaku. Kuberanikan diriku menatap wajahmu tepat dikedua bola matamu. Namun kau malah menghindarinya. Dan kau tampak begitu sedih waktu itu.

Kau mengalihkan pandangan, enggan menjawab pertanyaanku. Tak sabar kuraih kedua tanganmu, kugenggam erat, dan kutaruh di pangkuanku seolah ingin menguatkanmu. “Sekarang, ceritakanlah padaku, aku siap mendengar apapun itu.” Ucapku. 

Kau menghembuskan nafas dalam-dalam, kau tampak enggan mengatakannya. “Aku harus kembali ke Sydney.”

Aku terdiam. Bayangan perpisahan kini menari-nari di pelupuk mata. Sejak awal hubunganku denganya, entah hubungan ini apa namanya, tak pernah ada kata cinta. Tapi aku tahu, aku mencintainya, pun sebaliknya, bahwa kita akan berujung pada sebuah perpisahan. Dan sekaranglah waktunya. Aku mencoba menguatkan hati untuk tersenyum dan menatapmu, dalam.
“Jadi, Apakah semua pekerjaanmu sudah selesai?” tanyaku yang kau sambut dengan anggukan kecil.

Tak ada percakapan lagi. Kau kembali tenggelam dalam hening. Pandanganmu lurus kedepan bak seorang pemikir. Tenang dan datar. 

Tak ada yang perlu di khawatirkan, Dave, bukankah kau memang harus pulang?” ujarku pelan. Rasa sakit mulai menyesakkan dadaku. 

“Kita akan berpisah dan kau bisa sesantai ini?”, Kau mendengus kesal. Dan saat itu Aku merasa kau menatapku, tapi aku pura-pura tak tahu, dan memilih untuk membuang pandanganku pada riak-riak air danau yang bergerak lembut, terbawa angin di permukaan danau.

Andaikan kau tahu, ingin sekali aku berkata bahwa aku tak ingin kau pergi. Aku ingin kau tetap di sini bersamaku. Sebesar apapun keinginanku untuk memintamu tinggal, kau akan tetap pergi, aku tahu itu. 

“Dari pada memikirkan tentang perpisahan lebih baik kita nikmati saja waktu yang tersisa. Ciptakan kenangan-kenangan indah di antara kita.” Ucapku pelan lalu menyandarkan kepalaku di bahumu. 

Udara tiba-tiba berubah dingin. Matahari perlahan kembali ke peraduaanya, senja mengintip perlahan dari ujung langit barat sana. Siluetmu menghadap ke danau menjadi pemnadangan yang sempurna di mataku. Sungguh, aku tak ingin beranjak.
  
Di bawah naungan senja tangan kirimu merangkulku, membawaku dekat dengan dadamu yang bidang sehingga aku bisa mendengar jelas detak jantungmu. 

“Tersenyumlah, Dave. “ ucapku melepaskan pelukmu. Dan lengkung sempurna itu terlukis di wajahmu.
“Alangkah bahagianya jika bisa melihat kau tersenyum,” bisikku. 

Alangkah baiknya jika waktu berhenti sekarang juga,” balasmu. 

Senja mulai menua, lampu-lampu taman di sekitar danau sudah mulai menyala. Sekali lagi, aku masih tak ingin beranjak.
Kapan kau akan pergi?” tanyaku.

“Lusa, penerbangan pertama.” Jawabmu datar. 

“Aku akan mengantarmu ke bandara.” Ujarku yang kau sambut dengan senyum dan anggukan.

Airport International Ngurah Rai menjadi tempat terakhir dimana ada aku_kamu_kita. Ya, hari itu semua memang harus berakhir. Tak ada alasan untuk tinggal, yang tersisa hanya keharusan untuk pergi. 

“Apa kau percaya kalau cinta tak harus memiliki?”, tanyamu padaku memecah kediaman di antara kita.
“Percaya.” Jawabku yakin.
“Bagaimana jika seseorang yang kau cintai dan mencintaimu memutuskan untuk berpisah?”, tanyamu lagi.
Aku terdiam. Dan tetiba aku merasa ada sesuatu yang remuk di balik dadaku.
“Maksudmu apa?kita akan berpisah?” tanyaku padamu, dan menatap wajahmu tepat di kedua matamu.
“Maafkan aku, yu, aku harus memilih satu diantara kalian.” Ujarmu menunduk.
“Jadi, siapa yang akan kamu pilih, Dave?”
“Aku memilihnya. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, yu. Aku sungguh-sungguh mencintaimu," aku terdiam tak menunjukkan ekspresi apa-apa.  
“Ku mohon kamu mau mengerti yu, kita akan terpisah oleh milyaran jarak bahkan waktu. “
“Maafkan aku yu, kalau aku terlalu egois, mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita. Bukankah kamu percaya bahwa cinta tak harus memiliki.”
“Ya, aku percaya. Aku tahu ini yang terbaik untuk kita. Dan aku rela berkorban demi seseorang yang aku cintai, meski harus mengorbankan cintaku sendiri.” Kataku mantap. Aku mencoba untuk tersenyum, dan menggenggam tanganya erat seolah ingin meyakinkan atas keputusan yang tlah ia buat.
“Makasih yu, atas kebersamaan kita selama ini.” Katamu sambil memeluku erat sekali.
Dan hari itu punggung kita saling menjauh. Kepala kami tak pernah lagi saling menoleh. Yang tersisa hanyalah sebuah kenangan manis antara kita.

.
~000~

Dan malam ini aku merasa sendiri, sepi dan hening seperti sebelumnya. Sudah setahun semenjak perpisahan kita sore itu, tapi sepertinya baru kemarin aku rasa. Aku merindukanmu malam ini, makanya aku kembali memutar kembali kenangan-kenangan indah bersamamu, yang tersimpan dalam layar memoriku. 

Kenangan indah itu ada di sini, di bawah pohon Akasia, di bangku kayu panjang yang menghadap ke danau. Tempat kita sering bercengkrama, bercerita tentang apapun setelah seharian penuh bergelut dengan peluh.
“Kau bisa menghapus kenangan kita dengan mudah, sementara aku masih begitu mengingatnya."
Kemudian aku tersadar, malam mulai meranggas, perlahan tetapi pasti mengusir senja bersama mentari di ufuk barat. Dan akupun beranjak dari tempatku terduduk.

Sabtu, 27 April 2013

Tentang Kematian




 Lagi-lagi banyak mendapat pelajaran berharga dari Allah SWT. Amien.
Satu per satu orang-orang yang kukenal tlah pergi di jemput sang malaikat, yaitu malaikat Izrail. Nadi tlah tandas, ruh dan jasadnya terpisah, sehingga yang tersisa hanyalah seonggok daging tak berarti. Kehadirannya pada beberapa orang yang kukenal seperti Ustad Jeffry Al Buqhori sempat membuatku terhenyak saat memaknai kehadiran malaikat Izrail tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Ustad yang biasa di sapa dengan sebutan UJE tersebut kabarnya meninggal karena kecelakaan tunggal saat mengendari sepeda motor di daerah pondok indah, Jakarta. Ustad UJE meninggal di usianya yang terbilang masih muda yaitu 40 tahun. Banyak sekali pelayat yang mengiringi jenasah ustad UJE ke peristirahatanya yang terakhir, seperti menunjukkan betapa beliau meninggalkan arti yang begitu dalam di hati para pelayat.

Dan orang lain yang kukenal baru saja di jemput oleh sang malaikat adalah adek perempuan temanku waktu kuliah. Usianya masih sangat belia malah, sekitar dua puluhan. Dia meninggal karena adanya pembengkakan jantung akibat kehamilan anaknya yang pertama, perempuan, yang sekarang berusia 18 bulan. 

Kematian adalah rahasia Allah SWT dan tak ada satupun makhluk di bumi ini yang mengetahui kapan dia akan mati. Dalam kitab suci Al-Quran disebutkan bahwa setiap mahkluk hidup pasti akan mati. Permasalahanya, kita tak pernah tahu kapan kematian menghampiri kita. Ia datang tanpa permisi. Hendaknya kejadian ini dapat memberikan pelajaran kepada kita yang masih di beri kesempatan hidup agar selalu meningkatkan ibadah dan amalan baik kita. Tetap mawas diri dan mempersiapkan kematian (bekal) lahir dan batin. 




Salam Hangat
Strawberry 




Jumat, 19 April 2013

Turning Tables







Close enough to start a war
All that I have is on the floor
God only knows what we're fighting for
All that I say, you always say more

Ratih membuka matanya. Ia mendapati dirinya terkulai lemah di ranjang, di sebuah ruangan serba putih. Tubuhnya terasa kaku dan dilihatnya jarum infuse menempel di tangan kanannya. Entah bagaimana Ia bisa berada di sini. Ia hanya ingat pada malam mengerikan itu. Malam penuh kemarahan dari suaramu. Kau cemburu, karena Raihan, partner kerjaku, mengantarkan aku pulang malam itu. Pertengkaranpun pecah, aku berusaha memberikan penjelasan, namun kau tak mempercayaiku. Dan kau bilang aku tak menjaga perasaanmu. Lantas, kutanya padamu, apa Kau juga menjaga perasaanku kala itu?.

I can't keep up with your turning tables
Under your thumb, I can't breathe

Kau memang pandai memutar balikkan keadaan. Kau berkata seolah-olah kau lakukan ini demi cinta. Habis sudah tubuhku kau hujani dengan tendangan mautmu. Entah, setan apa yang merasukimu, hingga kau tega berbuat ini padaku, seseorang yang katanya kau cinta. Sungguh aku tak sanggup lagi hidup di bawah tekananmu. 

Ratih bangkit dari ranjangnya, Ia sedikit meringis, tubuhnya masih sakit akibat pukulan itu, meski rasa sakit di tubuhnya ini tak sebanding bila di bandingkan dengan rasa sakit di hatinya. Ia mengingat lagi kejadian malam itu. Ada air mata yang keluar dari liangnya.

“Harusnya aku tak pernah mengenalmu, Remi.” Teriak Ratih histeris. “Ternyata mencintaimu menyakitiku” Isaknya. 

Ini bukan kali pertama, tapi sudah berulang kali, tak bisa di hitung dengan jari. Dan sayangnya aku tak pernah menyadari kebodohanku itu. Selalu, tak bisa berbuat apa-apa untuk melawanmu.
 “Terkadang kau bisa bersikap semanis madu padaku, namun sesaat kau bisa berubah menjadi sepahit empedu. Entah, Kau anggap aku ini siapa?”.
So I won't let you close enough to hurt me
No, I won't ask you, you to just desert me
I can't give you what you think you gave me
It's time to say goodbye to turning tables, to turning table

Hari ini aku memutuskan sesuatu yang tidak pernah berani aku lakukan. Sesuatu yang slalu kujaga karena aku menghargaimu sebagai bagian dari hidupku. Semua ada batasnya, begitupun denganku. Usai sudah batas kesabaranku. Batas penantianku untuk perubahan sikapmu. Dan batas atas rasa kesakitan yang aku rasakan. Aku tak akan melakukan hal bodoh dengan memberikan hatiku untuk kau sakiti. Dan Inilah saat nya aku untuk mengakhiri semua. Pergi meninggalkanmu. 


Under haunted skies I see
Where love is lost, your ghost is found
I've braved a hundred storms to leave you
As hard as you try, no, I will never be knocked down
I can't keep up with your turning tables
Under your thumb, I can't breathe

Sulit. Ini akan menjadi hari-hari yang kelabu bagiku. Biasa hidup denganmu tapi kini harus tanpamu. Badai pasti berlalu. Dan aku harus menghadapinya seorang diri. Sekeras kau mencoba kembali padaku, tak menyurutkan niatku untuk pergi meninggalkanmu. Sekali lagi kukatakan padamu, aku tak bisa hidup di bawah tekananmu.

Next time I'll be braver, I'll be my own savior
When the thumb that cost me
Next time I'll be braver, I'll be my own savior
Standing on my own two feet

Kurasa kebodohan ini harus segera di akhiri. Aku harus lebih berani, dan menjadi penolong bagi diriku sendiri. Tak peduli apapun itu, aku harus bisa berdiri sendiri,  di atas kedua kakiku.

I won't let you close enough to hurt me, no
I won't ask you, you to just desert me
I can't give you what you think you gave me
It's time to say goodbye to turning tables, to turning tables
Turning tables, yeah, turning

Sekali lagi kukatakan, sudah saatnya kita berakhir.



Rabu, 10 April 2013

Pulang





Another summer day, Has come and gone away

In Paris and Rome

But I wanna go home   ……

 May be surrounded by, A million people I

Still feel all alone, I just wanna go home

Oh, I miss you, you know 

(Home – Michel Buble)


Michel Buble dengan lagunya yang berjudul “Home” mengalun pelan dari I pod ku  pada perjalanan menuju pulang.  Yeah, aku memang ingin pulang, kembali ke kotamu. Kota kenangan kita. Tempat cerita manis dan pahit tercipta. Kota yang sangat kamu cintai, begitupun aku.
“Aku merindukanmu gadisku. Bisakah kita bertemu lagi?”.
Sore ini, kotamu sedang di guyur hujan deras, biar saja, aku ingin bermain-main dengan hujan, menyusuri jejak-jejak kita yang tersebar di setiap sudut kotamu. Oh ya, kamu masih ingat tidak?, pada sebuah tempat yang sering kita singgahi ketika hujan berjatuhan. Ya, kedai kopi itu, kedai kopi yang letaknya tak jauh dari sekolah kita dulu, Kau selalu mengajakku kesana ketika hujan untuk sekedar menikmati secangkir kopi sambil memandangi hujan. Aku juga masih ingat, kau selalu memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela kaca agar kau bisa memandangi hujan sepuasnya.  Kau memang penggila hujan paling gila yang pernah ku kenal.
Gara-gara kegilaanmu itu, kau pernah membuatku takut. Saat itu hari pengumuman kelulusan ujian SMU, nilaimu tertinggi di sekolah dan kau sangat bahagia hari itu. Saking bahagianya, kau mengajakku untuk bermain hujan siang itu. Menari-nari di bawah rinainya, tak peduli gemetaran juga kerut dan pucat di kulitmu.
Kau bilang padaku “ Aku hanya ingin bermain hujan, membagi bahagiaku dengannya.”
Keesokan harinya, kau sakit. Badanmu demam dan mengigil, mungkin karena terlalu lama bermain hujan.  Semalaman aku menungguimu, mengurus dan merawatmu. Aku benar-benar takut malam itu. Takut terjadi sesuatu pada mu.
“Arleta….aku pulang untukmu. Aku membawa mimpi yang dulu pernah kita rancang berdua, semoga kau suka. “gumamku sambil tersenyum mengenangmu.