Sabtu, 21 Juli 2012

Tuhan, Kau Dimana?



Pernah suatu hari aku bertanya “Apakah kebahagiaan hanya milik orang yang kaya?”.
Sedangkan orang tak punya seperti aku hanyalah merasakan kesedihan setiap harinya. Rasa lapar, juga di remehkan. Itukah yang dinamakan bahwa Tuhan itu Maha Adil?Dimana letak keadilan itu Tuhan?Hingga detik ini aku tak melihat keadilan itu ada.

“Tuhan, dimana Kau?” Hatiku menjerit dan tetiba aku merasa sekujur tubuhku terasa lelah, keputusasaan menyergap jiwaku.

Kata orang tempat Tuhan itu di atas sana, di langit, "Oh ya, benarkah DIA ada di sana?" tanyaku dalam hati lalu mendongakkan wajah menuju pada langit senja.
Senja kali ini datang bersama lembayung yang bersinar indah, kucoba bertanya pada langit, “Dimana Tuhan?”, namun tak juga kutemukan jawabannya.

Jika Tuhan Maha Mendengar, Kenapa Tuhan tak mendegar doa yang kupanjatkan?
Jika Tuhan Maha Melihat, Apakah Kau tahu apa yang kuinginkan saat ini?
Kau tahu khan, aku hanya ingin bisa makan setiap hari.

“Rebahkan kepalamu di pangkuan ibu, tidurlah nak,” ujaran ibu mengagetkan aku. Aku berbalik dan melihat wajahnya yang kuyu.
“Maafkan ibu nak, malam ini kita belum bisa makan.” Ujarnya lembut sambil mengusap punggungku dengan penuh kasih sayang.

Tetiba, sebuah mobil berhenti dihadapanku. Dari dalamnya keluar seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik walaupun dengan dandanan yang sedikit tebal. Dia menghampiriku juga ibu, raut mukanya seperti sedang sedih, entah apa yg ia pikirkan, aku tak tahu.
“Ini ada sedikit makanan juga pakaian hangat untuk kalian.” Ujarnya sambil menyerahkan kantong plastic berisi makanan dan pakaian.

Mata dan senyum ibu berbinar, “terima kasih nyonya atas kebaikan dan ketulusan hatinya, semoga Allah SWT membalas kebaikan nyonya.” Ucap ibu sambil menerima bungkusan itu.

Belakangan baru kuketahui, perempuan itu tinggal di salah satu perumahan elit dekat kolong jembatan tempat dimana aku dan ibu tinggal. Di rumah sebesar itu, Ia hanya tinggal sendiri, kedua orang tuanya, anak, dan suaminya meninggal dalam kecelakaan mobil. Sedangkan dia sendiri harus kehilangan satu kakinya akibat kecelakaan mobil yang menimpa dia dan keluarganya.
Ah, Apa enaknya hidup sendiri di dunia ini, sepi, hampa, tak ada cinta di dalam rumah sebesar itu. Semua ini membuka mataku bahwa Tuhan itu Maha Baik, meski di rumah reot ini aku tinggal,  masih ada cinta Ibu yang sangat luar biasa untukku, menguatkan aku dari kesulitan hidup yang ada di depan mata. 

“Sekarang aku tahu, Tuhan itu ternyata adil.” Ujarku lalu tersenyum pada langit berbintang malam ini.

“Semoga, Kau mendengar semua keluhanku, Aku percaya Kau berada dekat denganku.” Ucapku lirih lalu berlalu dari tempatku, mengambil air wudhu, dan bergegas menuju masjid.





Sabtu, 07 Juli 2012

Cuma Naksir



Cuma Naksir, itu saja, tidak lebih. Karena Jauh di seberang sana seseorang menanti untuk hari pernikahanya denganku. 

Besok, aku tunggu di tempat biasa. Akan kutunjukkan suatu tempat yang belum pernah kamu lihat.”  Kamu tersenyum, turun dari mobilku, dan berlari menuju pekarangan rumahmu yang rindang. Semetara aku belum mengiyakan, kamu sudah meninggalkanku sendiri di dalam mobil, menyisakan rindu yang begitu dalam.
Entah kenapa melihat tingkah lakumu bahkan diammu membutku tersenyum lebar. Sedikit aneh memang, baru sebulan mengenalmu namun serasa setahun kita bersama. Kau selalu punya cara bagaimana membuatku bahagia. Tak pernah berhenti menguasi pikiranku. Itulah mengapa hingga selarut ini, mataku tak kunjung terpejam.
**
Matahari belum terbit bahkan embunpun belum sempurna membasahi rumput. Di langit bulan separuh menyisakan jejak sang malam, namun tak menyurutkan semangatnya untuk mengayuh sepeda, beriringan denganku menuju tempat yang akan kau tunjukkan padaku.
Aku mengikutimu, melewati perkampungan juga kebun strawberry milik pamanmu. Dan tetiba aku merasa dada makin berdebar hebat dan aliran darahku terhenti, saat senyummu memergokiku tengah mencuri pandang setiap gerak yang kamu lakukan. Aku memaksa memalingkan pandanganku, memaksa tengkuk yang mulai kaku,  karena tak henti-hentinya ekor mataku mengamatimu.
Kau tahu rasa ini apa, pun juga dengan diriku meskipun kita tak pernah berucap, namun mata tak akan pernah bisa berbohong.
“Ah, entahlah, yang kutahu, aku tak pernah merasa sebahagia ini,” pikirku.
Meski sudah lewat  jam lima , belum terlihat sedikitpun semburat fajar, pagi benar-benar masih buta. Setelah mele wati beberpa tanjakan, nafasku tersengal-sengal, tenagaku hampir habis mengayuh pedal-pedal. Kau menoleh ke arahku, tersenyum simpul sembari mengamati raut mukaku.
“Kamu capek?” Tanyanya sambil terus mengayuh sepedanya. Aku mengangguk pelan.
“Sedikit lagi, kita akan sampai setelah melewati bukit ilalang itu,” ujarmu merapatkan sweatermu sambil terus menerjang pagi yang berkabut.
 Di penghujung bukit ilalang akhirnya kita berhenti. Kita berada di ketinggian. Kamu berlari setelah menyandarkan sepedamu di bawah pohon kapas.
“Ayo, cepat sini!!!” pintamu. Aku tersaruk-saruk sambil mengatur nafas menujumu.
“Cepat, Sini!!!” ucapnya lagi.
“LIhat!!” kau menunjuk ke arah timur dan aku terkesiap menyaksikan semburat warna ungu bercampur merah jambu dan jingga di langit. Sungguh pemandangan yang sangat sempurna di mataku. Meskipun harus bagun pagi dan menempuh perjalanan yang sngat melelahkan, semua terbayar dengan cantiknya panorama alam yang bisa di nikmati.
Tak berapa lama kemudian, sebuah lingkaran merah menyembul perlahan-lahan, sepertiga lingkaran, setengah lingkaran, hingga membentuk satu lingkaran utuh berwarna kunging keemasan. Pagi ini adalah pagi terindah yang pernah ku miliki.
Langit menerang, dan aku masih saja terpaku menyaksikan keindahan alam yang tersaji secara sempurna di hadapanku. Ku lihat kau tersenyum puas padaku.
***

Pada suatu pagi yang kelabu, saat kamu sedang asyik dengan strawberry-strawberry di tangan dan keranjangmu. Pagi terakhir yang kumiliki bersamamu. Ya, bersamamu, berdua denganmu, tentu saja anugerah terindah dalam hidupku, kamu seperti matahari bagi bumi, hujan bagi musim kemarau. Kau akan jadi oase di padang pasir bagiku.
 “Besok, Aku akan kembali ke Jakarta,” ucapku sedikit terbata.
Kau mendongak ke arahku dan tersenyum padaku “Iya, kamu hati-hati ya?”.
Jeda beberpa detik “Jangan tunggu aku, tak tahu kapan harus kembali,” ujaranku membuatmu menghentikan kegiatanmu. Kau mengerutkan keningmu, pertanda tak mengerti dengan ucapanku.
Aku menunduk mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan “Pernikahanku sebentar lagi, ” ucapku dengan suara sedikit tercekat. Dan kamu membeku mendengar perkataanku, lalu kulihat butiran air mengalir dari mata ke pipimu, kamu menangis.
Aku bisa apa?berteriak?menangisimu?atau haruskah aku menyalahkan rasa yang hadir tiba-tiba?
Tidak, karena di sana seseorang tengah menungguku untuk hari pernikahanya denganku.