Tidak sedikit perempuan
yang ingin menunjukkan eksistensi dengan berkarier, terutama di kota-kota
besar. Pendapatan yang didapat setiap bulan merupakan salah satu kebanggaan
dari seorang perempuan agar bisa disebut dirinya sebagai perempuan yang
mandiri. Namun hal ini terkadang berbenturan dengan peran lain perempuan yang
sudah terikat dengan pernikahan. Otomatis kewajiban dan peran perempuan menjadi
berlipat. Terlebih jika sudah memiliki keturunan. Tak banyak perempuan yang
mengaku mengalami dilema ketika harus memutuskan untuk tetap berkarier atau
mengabdi menjadi istri dan ibu di dalam rumah.
Seperti yang saat ini
sedang ku alami, ketika tunanganku membahas mengenai kehidupan kami nanti pasca
menikah. Dia memintaku untuk berhenti bekerja saja dan mengabdi menjadi istri
dan ibu untuk keluarga baru kami kelak. Jujur saja aku sedikit shock atas
permintaan tunanganku tersebut, bagaikan godam besar membentur kepalaku, sulit kupercaya
keinginan itu meluncur dari lelaki yang Insyallah akan menikahiku sekitar tiga
bulan lagi.
Kalau bicara tentang kodrat
perempuan, memang benar sudah jelas di atur di dalam Agama kita bahwa sudah
menjadi kewajiban seorang perempuan untuk mengabdi kepada suami dan bertanggung
jawab penuh terhadap keturunannya. Dan bukanya aku ingin melanggar kodratku
sebagai seorang perempuan. Tapi masalahnya, hal itu bukanlah perkara mudah
untuk mengambil keputusan berhenti berkarier. Selain dibutuhkan kesiapan mental
dalam menghadapai masa transisi dari dunia kerja ke dunia rumah, kehilangan
pendapatan merupakan masalah yang perlu dipertimbangkan lagi.
Baiklah, aku akan
menjelaskan satu per satu alasanku tersebut, mengapa aku belum mau meluluskan
permintaannya saat ini. Aku berharap
tunanganku membaca tulisan ini, dan dia mengerti serta memahami kegalauan yang
ada di dalam hatiku saat ini.
Bagiku, perempuan yang
sudah terbiasa bekerja bertahun-tahun tidak mudah untuk begitu saja memutuskan
menjadi ibu rumah tangga. Tak bisa dipungkiri lingkup dunia rumah tangga lebih
sempit bila di bandingkan dengan lingkup dunia kerja. Didunia kerja, seseorang
akan di tuntut untuk berinteraksi dengan begitu banyak orang dengan berbagai
latar belakang yang berbeda. Sementara dunia rumah tangga tidaklah demikian,
umunya hanya berinteraksi dengan anak, pembantu, keluarga, dan tetangga saja.
Sebelumnya aku minta
maaf, bukannya aku meremehkan pekerjaan seorang ibu rumah tangga, justru aku
sangat menghargai sekaligus bangga jika ada seorang perempuan yang secara tulus
dan ikhlas memutuskan untuk menjadi seorang Ibu Rumah Tangga saja. Menurutku
tugas seorang ibu rumah tangga itu sangatlah mulia. Ini hanyalah pendapatku
saja, sebuah pendapat yang mungkin salah karena hanya kulihat dari satu sudut
pandangku saja, sudut pandang seorang perempuan yang belum pernah merasakan
indahnya menjadi ibu rumah tangga.
Well, lanjut ke alasan
pertamaku tadi, intinya aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan
keadaan setelah kita menikah nanti. Aku sudah terbiasa dengan berbagai macam
aktifitas pekerjaan, maka butuh waktu untuk bisa membiasakan diri tanpa
aktifitas di rumah, belum lagi aku akan merasa kesepian dan sendiri sementara
suami bekerja. Perubahan kan butuh proses, jadi biarkan aku berproses dan
menikmati peran baruku nanti.
Aku pernah meminta
pendapat temanku yang dulunya juga pernah memiliki masalah serupa denganku. Ia
megaku “Aku sempet bingung, stress, dan frustasi waktu memutuskan untuk
berhenti dan total mengurus suami karena menghadapi perubahan yang cukup
drastis dalam hidupku.”
Tentu dong Aku ndak mau
seperti temanku itu, makanya aku harus benar-benar siap mental untuk urusan
yang satu ini.
Sisi keuangan juga
menjadi pertimbangan bagiku ketika aku memutuskan untuk berhenti bekerja
setelah menikah nanti. Aku bekerja selama ini tentu untuk membantu keluargaku,
Papaku hanya seorang pensiunan PT Kereta Api, tentu penghasilanya tidak
sebanyak waktu masih aktif bekerja. Karena aku anak pertama dari dua
bersaudara, maka akulah yang harusnya membantu perekonomian keluargaku. Ketika
aku memutuskan berhenti, otomatis aku tidak memiliki pendapatan lagi, lantas
bagaimana aku harus membayar rekening listrik, air, telpon, cicilan rumah dan kebutuhan tak terduga keluargaku. Apa
harus minta suami yang menanggung semuanya?
Bukan aku meragukannya
dalam mencari nafkah, aku sangat yakin denganmu yang pekerja keras, dan aku
percaya kau adalah lelaki bertanggung jawab yang pernah kukenal dalam hidupku.
Aku bangga terhadapmu juga dengan pekerjaanmu, Aku hanya tak mau terlalu
membebanimu dengan kebutuhan keluargaku, sementara kamu juga masih memiliki
tanggungan adik yang masih sekolah. Kuharap dia, tunanganku mengerti akan alasanku
ini.
Salah satu temanku ada
yang menasehati, katanya “Kau kan bisa mencari tambahan pendapatan tanpa harus
bekerja di luar rumah?Kau pandai memasak, dan kau juga canggih berinternet, sekarang tidak sedikit perempuan
yang memiliki bisnis online. Selain bisa menjaga mengurus anak dan suami kau
bisa memiliki kegiatan juga penghasilan sendiri.”
Ya, itu memang benar, aku
setuju dengan pendapat temanku itu, tapi kukatakan sekali lagi semua itu juga
butuh proses dan modal yang tidak sedikit. Tidak mungkin langsung sukses,
apalagi aku seorang pemula, tidak mempunyai pengalaman menjadi pengusaha. Harus
banyak belajar dan membaca situasi di lingkungan baruku nanti untuk menentukan
usaha apa yang kira-kira sukses di jalankan. Aku ndak mau grusa-grusu, perlahan
tapi pasti. Aku sendiri sebenarnya juga tidak ingin selamanya bekerja dengan
orang lain, aku punya mimpi untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Dari lubuk hatiku yang
terdalam, sungguh aku tak ingin mengingkari kodratku sebagai perempuan. Ya,
nanti akan aku buktikan setelah kita menikah, aku akan dengan senang hati dan
ikhlas mengabdi pada suamiku. Kalaupun nanti aku masih tetap bekerja, percayalah,
aku sadar akan kodrat dan kewajibanku sebagai seorang istri. Kau tak perlu
khawatir akan hal itu, aku hanya butuh waktu untuk berproses.
Kebanyakan dari kaummu
yaitu laki-laki sering berpendapat karena harta dan materi perempuan sering
lupa akan kodrat dan sombong terhadap laki-laki. Ah, kau ini jangan menyama
ratakan begitu, aku tidak sama seperti mantanmu yang konon katamu meninggalkan
dan meremehkanmu lantaran kau di pecat dari perusahaanmu karena hampir
bangkrut. Kau tak perlu khawatir, aku mencintaimu karena Allah SWT. Percaya
aku, suatu saat keinginanmu itu akan kululuskan tanpa harus merasa terpaksa.
Aku memang keras kepala, tapi tak sulit untuk meluluhkan hatiku.
Jika teman-teman punya
pendapat dan pengalaman tentang masalah ini, boleh kok di share. Atau kalau
pendapatku ini salah boleh di luruskan. Terima kasih. Salam Hangat.