Minggu, 10 Juni 2012

Berhanti Bekerja Atau Menjadi Ibu Rumah Tangga



Tidak sedikit perempuan yang ingin menunjukkan eksistensi dengan berkarier, terutama di kota-kota besar. Pendapatan yang didapat setiap bulan merupakan salah satu kebanggaan dari seorang perempuan agar bisa disebut dirinya sebagai perempuan yang mandiri. Namun hal ini terkadang berbenturan dengan peran lain perempuan yang sudah terikat dengan pernikahan. Otomatis kewajiban dan peran perempuan menjadi berlipat. Terlebih jika sudah memiliki keturunan. Tak banyak perempuan yang mengaku mengalami dilema ketika harus memutuskan untuk tetap berkarier atau mengabdi menjadi istri dan ibu di dalam rumah. 

Seperti yang saat ini sedang ku alami, ketika tunanganku membahas mengenai kehidupan kami nanti pasca menikah. Dia memintaku untuk berhenti bekerja saja dan mengabdi menjadi istri dan ibu untuk keluarga baru kami kelak. Jujur saja aku sedikit shock atas permintaan tunanganku tersebut, bagaikan godam besar membentur kepalaku, sulit kupercaya keinginan itu meluncur dari lelaki yang Insyallah akan menikahiku sekitar tiga bulan lagi.

Kalau bicara tentang kodrat perempuan, memang benar sudah jelas di atur di dalam Agama kita bahwa sudah menjadi kewajiban seorang perempuan untuk mengabdi kepada suami dan bertanggung jawab penuh terhadap keturunannya. Dan bukanya aku ingin melanggar kodratku sebagai seorang perempuan. Tapi masalahnya, hal itu bukanlah perkara mudah untuk mengambil keputusan berhenti berkarier. Selain dibutuhkan kesiapan mental dalam menghadapai masa transisi dari dunia kerja ke dunia rumah, kehilangan pendapatan merupakan masalah yang perlu dipertimbangkan lagi.

Baiklah, aku akan menjelaskan satu per satu alasanku tersebut, mengapa aku belum mau meluluskan permintaannya saat ini.  Aku berharap tunanganku membaca tulisan ini, dan dia mengerti serta memahami kegalauan yang ada di dalam hatiku saat ini.

Bagiku, perempuan yang sudah terbiasa bekerja bertahun-tahun tidak mudah untuk begitu saja memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Tak bisa dipungkiri lingkup dunia rumah tangga lebih sempit bila di bandingkan dengan lingkup dunia kerja. Didunia kerja, seseorang akan di tuntut untuk berinteraksi dengan begitu banyak orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Sementara dunia rumah tangga tidaklah demikian, umunya hanya berinteraksi dengan anak, pembantu, keluarga, dan tetangga saja.
Sebelumnya aku minta maaf, bukannya aku meremehkan pekerjaan seorang ibu rumah tangga, justru aku sangat menghargai sekaligus bangga jika ada seorang perempuan yang secara tulus dan ikhlas memutuskan untuk menjadi seorang Ibu Rumah Tangga saja. Menurutku tugas seorang ibu rumah tangga itu sangatlah mulia. Ini hanyalah pendapatku saja, sebuah pendapat yang mungkin salah karena hanya kulihat dari satu sudut pandangku saja, sudut pandang seorang perempuan yang belum pernah merasakan indahnya menjadi ibu rumah tangga.

Well, lanjut ke alasan pertamaku tadi, intinya aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan setelah kita menikah nanti. Aku sudah terbiasa dengan berbagai macam aktifitas pekerjaan, maka butuh waktu untuk bisa membiasakan diri tanpa aktifitas di rumah, belum lagi aku akan merasa kesepian dan sendiri sementara suami bekerja. Perubahan kan butuh proses, jadi biarkan aku berproses dan menikmati peran baruku nanti.

Aku pernah meminta pendapat temanku yang dulunya juga pernah memiliki masalah serupa denganku. Ia megaku “Aku sempet bingung, stress, dan frustasi waktu memutuskan untuk berhenti dan total mengurus suami karena menghadapi perubahan yang cukup drastis dalam hidupku.”

Tentu dong Aku ndak mau seperti temanku itu, makanya aku harus benar-benar siap mental untuk urusan yang satu ini.

Sisi keuangan juga menjadi pertimbangan bagiku ketika aku memutuskan untuk berhenti bekerja setelah menikah nanti. Aku bekerja selama ini tentu untuk membantu keluargaku, Papaku hanya seorang pensiunan PT Kereta Api, tentu penghasilanya tidak sebanyak waktu masih aktif bekerja. Karena aku anak pertama dari dua bersaudara, maka akulah yang harusnya membantu perekonomian keluargaku. Ketika aku memutuskan berhenti, otomatis aku tidak memiliki pendapatan lagi, lantas bagaimana aku harus membayar rekening listrik, air, telpon, cicilan rumah  dan kebutuhan tak terduga keluargaku. Apa harus minta suami yang menanggung semuanya?

Bukan aku meragukannya dalam mencari nafkah, aku sangat yakin denganmu yang pekerja keras, dan aku percaya kau adalah lelaki bertanggung jawab yang pernah kukenal dalam hidupku. Aku bangga terhadapmu juga dengan pekerjaanmu, Aku hanya tak mau terlalu membebanimu dengan kebutuhan keluargaku, sementara kamu juga masih memiliki tanggungan adik yang masih sekolah. Kuharap dia, tunanganku mengerti akan alasanku ini.


Salah satu temanku ada yang menasehati, katanya “Kau kan bisa mencari tambahan pendapatan tanpa harus bekerja di luar rumah?Kau pandai memasak, dan kau juga canggih  berinternet, sekarang tidak sedikit perempuan yang memiliki bisnis online. Selain bisa menjaga mengurus anak dan suami kau bisa memiliki kegiatan juga penghasilan sendiri.”

Ya, itu memang benar, aku setuju dengan pendapat temanku itu, tapi kukatakan sekali lagi semua itu juga butuh proses dan modal yang tidak sedikit. Tidak mungkin langsung sukses, apalagi aku seorang pemula, tidak mempunyai pengalaman menjadi pengusaha. Harus banyak belajar dan membaca situasi di lingkungan baruku nanti untuk menentukan usaha apa yang kira-kira sukses di jalankan. Aku ndak mau grusa-grusu, perlahan tapi pasti. Aku sendiri sebenarnya juga tidak ingin selamanya bekerja dengan orang lain, aku punya mimpi untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

Dari lubuk hatiku yang terdalam, sungguh aku tak ingin mengingkari kodratku sebagai perempuan. Ya, nanti akan aku buktikan setelah kita menikah, aku akan dengan senang hati dan ikhlas mengabdi pada suamiku. Kalaupun nanti aku masih tetap bekerja, percayalah, aku sadar akan kodrat dan kewajibanku sebagai seorang istri. Kau tak perlu khawatir akan hal itu, aku hanya butuh waktu untuk berproses.

Kebanyakan dari kaummu yaitu laki-laki sering berpendapat karena harta dan materi perempuan sering lupa akan kodrat dan sombong terhadap laki-laki. Ah, kau ini jangan menyama ratakan begitu, aku tidak sama seperti mantanmu yang konon katamu meninggalkan dan meremehkanmu lantaran kau di pecat dari perusahaanmu karena hampir bangkrut. Kau tak perlu khawatir, aku mencintaimu karena Allah SWT. Percaya aku, suatu saat keinginanmu itu akan kululuskan tanpa harus merasa terpaksa. Aku memang keras kepala, tapi tak sulit untuk meluluhkan hatiku.


Jika teman-teman punya pendapat dan pengalaman tentang masalah ini, boleh kok di share. Atau kalau pendapatku ini salah boleh di luruskan. Terima kasih. Salam Hangat.







0 komentar:

Posting Komentar