10 Januari 2011
Di
kedai kopi, Leticia, 25 Tahun.
Duduk menyudut di sofa empuk favoritku, bersebelahan langsung dengan
jendela kaca besar, yang memisahkannya dengan aktivitas kota di luar. Secangkir
Vanila Latte dan sebuah laptop di meja masih setia menemaniku, menikmati senja
dari balik jendela kaca kedai kopi.
Aku menyandarkan punggung di
sofa, menyesap vanilla latte pesananku beberapa kali. Di luar warna langit yang
semula membiru kini berubah warna kuning keemasan. Sesekali ku lihat rombongan
burung melintas di atas. Suasana yang seperti ini akan sangat tepat untuk
menulis sebuah cerita. Maka, aku membiarkan jemariku menari lincah di atas
keyboard. Membiarkan segala imajinasi di dalam otakku mengalir dengan indah.
Tidak bergeming.
~@@@~
Di
kedai kopi, Darren, 29 tahun. Untuk pertama kalinya Darren
terduduk di sebuah sofa empuk kedai kopi untuk mencicipi secangkir kopi panas di
perbatasan kota. Aku tak tahu dorongan kuat apa yang menarikku untuk mampir di
tempat minum di pinggir jalan ini.
Kedai kopi itu memberikan kesan
nyaman, dengan beberapa meja dan sofa empuk untuk berdua. Aku memesan secangkir
Ekspresso, dan ketika menunggu pesananku itulah mataku tertuju pada seorang
gadis yang duduk di pojokan kedai kopi, bersebelahan dengan jendela kaca, yang
menampilkan pemandangan sore itu.
Gadis berkaos pink itu sudah
mencuri perhatianku sejak lima menit yang lalu. Sedari tadi Ia duduk di sofa
itu dengan sebuah laptop di atas meja. Tidak bergeming. Jemarinya asik
menari-nari di atas keyboardnya. Siluet tubuhnya yang terlumuri temaram senja
membuatnya nampak sempurna.
Apa yang sedang ia kerjakan?aku
sungguh penasaran..
Aku terdorong untuk mengamatinya
lebih seksama lagi. Ia memiliki wajah unik, yang merupakan gabungan antara
unsure timur dan barat. Mulai dari warna rambutnya yang hitam panjang, kulitnya
yang putih, matanya yang berwarna kelabu, hingga tinggi badan yang melebihi
ukuran tinggi badan wanita asia pada umumnya. !80 cm mungkin.
Hei, gadis apa yang sedang kau kerjakan?aku
semakin di buat penasaran olehnya.
Sesekali aku berharap Ia akan
menoleh ke arahku dan mendapatiku sedang menatapnya, lalu tersenyum padaku.
Sayangnya dia masih dengan posisi yang sama ketika aku mengamatinya pertama
kali. Sebenarnya bisa saja aku terus memandangi gadis itu, kalau saja aku tidak
sedang berjanji bertemu dengan seseorang hari itu.
~@@@~
11 Januari 2011.
Kedai
Kopi, Luticia, 25 tahun. Hampir petang. Leticia baru saja mendorong
masuk pintu kaca kedai kopi. Dengan sebuah tas punggung yang menempel di
bahunya. Ia mencari tempat duduk untuk segera melepas lelahnya setelah seharian
bergelut dengan peluh. Satu hal yang ia periksa adalah tempat duduk favoritnya,
sebuah sofa empuk di pojokan, di sebelah kaca jendela. Di sana kosong, di kedua
sofanya masih belum terisi oleh pengunjung. Maka, tanpa harus menunggu terlalu
lama, aku bergegas menuju ke meja incaran. Namun saat aku hendak meletakkan
tasku, tetiba ada seorang pemuda lebih dulu duduk di tempat duduk incaranku.
Kami berhadapan, lalu saling
melempar senyum.
“Maaf, tuan. Silahkan kau lebih
dulu duduk di meja ini.” Ujarku pada sosok jangkung yang berdiri di hadapannya
itu. Dan kurasa ia tak mengerti apa yang kuucapkan barusan, lantas aku
mengulangi ucapanku dengan menggunakan bahasa inggris.
~@@@~
Kedai
kopi, Darren, 29 tahun. Hampir petang. Darren sudah mendapatkan
pesanannya : secangkir Eksrpreso panas setelah sekian lama mengantri di meja
kasir. Ia melihat ke sekeliling ruangan, mengamati tempat duduk mana yang belum
terisi. Tempat duduk di pojokan kedai kopi. Di sana kosong. Maka, tanpa harus
menunggu terlalu lama, aku bergegas menuju ke meja incaran. Namun seketika itu
aku merasa ada seorang gadis yang mengincar tempat duduk yang sama.
Kami berhadapan, lalu saling
melempar senyum.
“Maaf, tuan. Silahkan kau lebih
dulu duduk di meja ini.” Ucap gadis bermata kelabu itu dan entah dia
menggunakan bahasa apa, aku tak begitu jelas mendengarnya.
“Apa?” ujar Darren dengan alis
sedikit terangkat.
“Ya, kau lebih dulu duduk dimeja
ini, mungkin aku akan mencari meja lain.” Jawab gadis berambut hitam panjang
itu. Kali ini dia menggunakan bahasa inggris.
Aku melihat ada gurat kekecewaan
di wajahnya. Dengan lelah gadis itu hendak berjalan menuju kasir sambil
sesekali memperhatikan sekelilingnya.
“Aku rasa kau tak akan menemukan
meja kosong lain di sini,” ujarku sambil memperhatikan sekeliling, “aku tidak
masalah, jika kau mau duduk di sini bersamaku.” Lanjutku menawarkan pilihan.
Gadis itu tidak langsung menjawab
tawaranku, Ia nampak sedang berpikir, menimbang-nimbang tawaranku. Dua-tiga
detik kemudian Ia menaruh perlahan tasnya di lantai sebelah meja.
“Terima kasih, tuan…” ucapnya
sembari menatapku.
“Panggil aku Darren.” Jawabku
memperkenalkan diri.
“Baiklan, tuan Darren, kenalkan
aku Leticia.” Jawabnya.
Semenjak
tanggal itu, keduanya sering bertemu di kedai kopi itu, menghabiskan malam
sambil menikmati secangkir kopi panas yang aromanya mewangi.
~@@@~
11 Januari 2012
Kedai
Kopi, Darren, 30 Tahun. Malam itu, hujan jatuh dan membasahi jalan di
kota denpasar. Dan kedai kopi favorit kita itu sedang sepi oleh pengunjung. Aku
dan kamu terduduk di sofa empuk di pojokan, bersebelah dengan jendela kaca
kedai kopi. Secangkir ekspresso dan vanilla late panas sudah terhidang di meja,
Ekspresso untukku dan Vanilla late untukmu.
Hampir setiap malam kita
menghabiskan malam di kedai kopi itu, menikmati air hujan yang meleleh di kaca
jendela dengan tawamu yang berderai-derai. Kau bercerita panjang lebar tentang
apapun, setelah seharian penuh bergelut dengan peluh. Seolah semua penat luruh
hanya dengan duduk bersebelahan denganmu di sini.
~@@@~
12 Januari 2012
Di kedai
kopi, Leuticia, 26 Tahun. Leuticia duduk di tempat favoritnya_sebuah
sofa pada meja untuk berdua, di sebelah jendela kaca, dengan pemandangan hujan
di luar. Sambil mencicipi Vanilla Lattenya, Luticia mengintip waktu yang
terpampang di layar telpon genggamnya. Seseorang yang ia tunggu, tak kunjung
datang.
Sekitar lima belas menit kemudian, Leuticia menghadap ke
jendela kaca, dan seketika itu juga Leuticia menangkap sosok Darren turun dari
bus. Leuticia tersenyum. Darren menengok kanan kiri, memastikan tak ada
kendaraan yang melintas. Ia sudah hampir sampai ke pinggir saat melambaikan tangannya
pada kekasihnya. Namun, entah dari mana, tiba-tiba sebuah kendaraan melaju
dengan kecepatan tinggi melintas di jalan itu. Dan rupanya Darren tidak
memperhatikan sebelumnya. Lalu yang terdengar selanjutnya adalah suara dentuman
keras. BRAAKKK!!!!
Leuticia terkejut, dan sungguh ia tak percaya dengan apa yang
ia lihat di balik kaca jendela kedai kopi. Dan Akhirnya, Kedai Kopi, Darren, 30
tahun. Meninggal dunia dalam kecelakaan tragis itu.
Malam
dimana, Darren, 30 tahun, meninggal dunia tepat di depan kedai kopi favorit
mereka.
~@@@~
11 Januari 2013
Di
Kedai kopi, Leuticia, 27 tahun. Kita duduk menyudut di sofa
empuk itu, bersebelahan dengan jendela kaca kedai kopi sambil menikmati hujan
yang menderas malam ini. Dan aku ingat kau selalu memesan secangkir Ekspresso
favoritmu.
Aku bisa melihat bayang dirimu,
duduk di sofa di hadapanku, menyesap Ekspresso berkali-kali sembari
mendengarkan aku bercerita panjang lebar tentang apapun setelah seharian penuh
bergelut dengan peluh.
“Tahu kah kamu?Malam ini aku
berada di kedai kopi favorit kita. Berusaha untuk menemukan kenangan
bersamamu.”