Rabu, 01 Mei 2013

Perpisahan







Kuingat pada sore waktu itu, kita duduk di bangku kayu panjang, di bawah pohon Akasia, menghadap ke danau.  Kegelisahan nampak dari raut wajahmu yang biasanya terlihat santai. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, tapi entah apa, aku tak tahu. 

“Kau kenapa?”tanyaku. Kuberanikan diriku menatap wajahmu tepat dikedua bola matamu. Namun kau malah menghindarinya. Dan kau tampak begitu sedih waktu itu.

Kau mengalihkan pandangan, enggan menjawab pertanyaanku. Tak sabar kuraih kedua tanganmu, kugenggam erat, dan kutaruh di pangkuanku seolah ingin menguatkanmu. “Sekarang, ceritakanlah padaku, aku siap mendengar apapun itu.” Ucapku. 

Kau menghembuskan nafas dalam-dalam, kau tampak enggan mengatakannya. “Aku harus kembali ke Sydney.”

Aku terdiam. Bayangan perpisahan kini menari-nari di pelupuk mata. Sejak awal hubunganku denganya, entah hubungan ini apa namanya, tak pernah ada kata cinta. Tapi aku tahu, aku mencintainya, pun sebaliknya, bahwa kita akan berujung pada sebuah perpisahan. Dan sekaranglah waktunya. Aku mencoba menguatkan hati untuk tersenyum dan menatapmu, dalam.
“Jadi, Apakah semua pekerjaanmu sudah selesai?” tanyaku yang kau sambut dengan anggukan kecil.

Tak ada percakapan lagi. Kau kembali tenggelam dalam hening. Pandanganmu lurus kedepan bak seorang pemikir. Tenang dan datar. 

Tak ada yang perlu di khawatirkan, Dave, bukankah kau memang harus pulang?” ujarku pelan. Rasa sakit mulai menyesakkan dadaku. 

“Kita akan berpisah dan kau bisa sesantai ini?”, Kau mendengus kesal. Dan saat itu Aku merasa kau menatapku, tapi aku pura-pura tak tahu, dan memilih untuk membuang pandanganku pada riak-riak air danau yang bergerak lembut, terbawa angin di permukaan danau.

Andaikan kau tahu, ingin sekali aku berkata bahwa aku tak ingin kau pergi. Aku ingin kau tetap di sini bersamaku. Sebesar apapun keinginanku untuk memintamu tinggal, kau akan tetap pergi, aku tahu itu. 

“Dari pada memikirkan tentang perpisahan lebih baik kita nikmati saja waktu yang tersisa. Ciptakan kenangan-kenangan indah di antara kita.” Ucapku pelan lalu menyandarkan kepalaku di bahumu. 

Udara tiba-tiba berubah dingin. Matahari perlahan kembali ke peraduaanya, senja mengintip perlahan dari ujung langit barat sana. Siluetmu menghadap ke danau menjadi pemnadangan yang sempurna di mataku. Sungguh, aku tak ingin beranjak.
  
Di bawah naungan senja tangan kirimu merangkulku, membawaku dekat dengan dadamu yang bidang sehingga aku bisa mendengar jelas detak jantungmu. 

“Tersenyumlah, Dave. “ ucapku melepaskan pelukmu. Dan lengkung sempurna itu terlukis di wajahmu.
“Alangkah bahagianya jika bisa melihat kau tersenyum,” bisikku. 

Alangkah baiknya jika waktu berhenti sekarang juga,” balasmu. 

Senja mulai menua, lampu-lampu taman di sekitar danau sudah mulai menyala. Sekali lagi, aku masih tak ingin beranjak.
Kapan kau akan pergi?” tanyaku.

“Lusa, penerbangan pertama.” Jawabmu datar. 

“Aku akan mengantarmu ke bandara.” Ujarku yang kau sambut dengan senyum dan anggukan.

Airport International Ngurah Rai menjadi tempat terakhir dimana ada aku_kamu_kita. Ya, hari itu semua memang harus berakhir. Tak ada alasan untuk tinggal, yang tersisa hanya keharusan untuk pergi. 

“Apa kau percaya kalau cinta tak harus memiliki?”, tanyamu padaku memecah kediaman di antara kita.
“Percaya.” Jawabku yakin.
“Bagaimana jika seseorang yang kau cintai dan mencintaimu memutuskan untuk berpisah?”, tanyamu lagi.
Aku terdiam. Dan tetiba aku merasa ada sesuatu yang remuk di balik dadaku.
“Maksudmu apa?kita akan berpisah?” tanyaku padamu, dan menatap wajahmu tepat di kedua matamu.
“Maafkan aku, yu, aku harus memilih satu diantara kalian.” Ujarmu menunduk.
“Jadi, siapa yang akan kamu pilih, Dave?”
“Aku memilihnya. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, yu. Aku sungguh-sungguh mencintaimu," aku terdiam tak menunjukkan ekspresi apa-apa.  
“Ku mohon kamu mau mengerti yu, kita akan terpisah oleh milyaran jarak bahkan waktu. “
“Maafkan aku yu, kalau aku terlalu egois, mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita. Bukankah kamu percaya bahwa cinta tak harus memiliki.”
“Ya, aku percaya. Aku tahu ini yang terbaik untuk kita. Dan aku rela berkorban demi seseorang yang aku cintai, meski harus mengorbankan cintaku sendiri.” Kataku mantap. Aku mencoba untuk tersenyum, dan menggenggam tanganya erat seolah ingin meyakinkan atas keputusan yang tlah ia buat.
“Makasih yu, atas kebersamaan kita selama ini.” Katamu sambil memeluku erat sekali.
Dan hari itu punggung kita saling menjauh. Kepala kami tak pernah lagi saling menoleh. Yang tersisa hanyalah sebuah kenangan manis antara kita.

.
~000~

Dan malam ini aku merasa sendiri, sepi dan hening seperti sebelumnya. Sudah setahun semenjak perpisahan kita sore itu, tapi sepertinya baru kemarin aku rasa. Aku merindukanmu malam ini, makanya aku kembali memutar kembali kenangan-kenangan indah bersamamu, yang tersimpan dalam layar memoriku. 

Kenangan indah itu ada di sini, di bawah pohon Akasia, di bangku kayu panjang yang menghadap ke danau. Tempat kita sering bercengkrama, bercerita tentang apapun setelah seharian penuh bergelut dengan peluh.
“Kau bisa menghapus kenangan kita dengan mudah, sementara aku masih begitu mengingatnya."
Kemudian aku tersadar, malam mulai meranggas, perlahan tetapi pasti mengusir senja bersama mentari di ufuk barat. Dan akupun beranjak dari tempatku terduduk.

0 komentar:

Posting Komentar