Kuingat pada sore waktu itu, kita
duduk di bangku kayu panjang, di bawah pohon Akasia, menghadap ke danau. Kegelisahan nampak dari raut wajahmu yang
biasanya terlihat santai. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, tapi
entah apa, aku tak tahu.
“Kau
kenapa?”tanyaku. Kuberanikan diriku menatap wajahmu tepat dikedua
bola matamu. Namun kau malah menghindarinya. Dan kau tampak begitu sedih waktu
itu.
Kau mengalihkan pandangan, enggan
menjawab pertanyaanku. Tak sabar kuraih kedua tanganmu, kugenggam erat, dan
kutaruh di pangkuanku seolah ingin menguatkanmu. “Sekarang, ceritakanlah padaku, aku siap mendengar apapun itu.” Ucapku.
Kau menghembuskan nafas
dalam-dalam, kau tampak enggan mengatakannya. “Aku harus kembali ke Sydney.”
Aku terdiam. Bayangan perpisahan
kini menari-nari di pelupuk mata. Sejak awal hubunganku denganya, entah
hubungan ini apa namanya, tak pernah ada kata cinta. Tapi aku tahu, aku
mencintainya, pun sebaliknya, bahwa kita akan berujung pada sebuah perpisahan.
Dan sekaranglah waktunya. Aku mencoba menguatkan hati untuk tersenyum dan
menatapmu, dalam.
“Jadi,
Apakah semua pekerjaanmu sudah selesai?” tanyaku yang kau sambut dengan
anggukan kecil.
Tak ada percakapan lagi. Kau
kembali tenggelam dalam hening. Pandanganmu lurus kedepan bak seorang pemikir.
Tenang dan datar.
“Tak ada yang perlu di
khawatirkan, Dave, bukankah kau memang harus pulang?” ujarku pelan. Rasa sakit
mulai menyesakkan dadaku.
“Kita
akan berpisah dan kau bisa sesantai ini?”, Kau mendengus kesal. Dan
saat itu Aku merasa kau menatapku, tapi aku pura-pura tak tahu, dan memilih
untuk membuang pandanganku pada riak-riak air danau yang bergerak lembut,
terbawa angin di permukaan danau.
Andaikan kau tahu, ingin sekali
aku berkata bahwa aku tak ingin kau pergi. Aku ingin kau tetap di sini
bersamaku. Sebesar apapun keinginanku untuk memintamu tinggal, kau akan tetap
pergi, aku tahu itu.
“Dari
pada memikirkan tentang perpisahan lebih baik kita nikmati saja waktu yang
tersisa. Ciptakan kenangan-kenangan indah di antara kita.” Ucapku pelan lalu
menyandarkan kepalaku di bahumu.
Udara tiba-tiba berubah dingin. Matahari
perlahan kembali ke peraduaanya, senja mengintip perlahan dari ujung langit
barat sana. Siluetmu menghadap ke danau menjadi pemnadangan yang sempurna di
mataku. Sungguh, aku tak ingin beranjak.
Di bawah naungan senja tangan
kirimu merangkulku, membawaku dekat dengan dadamu yang bidang sehingga aku bisa
mendengar jelas detak jantungmu.
“Tersenyumlah, Dave. “ ucapku
melepaskan pelukmu. Dan lengkung sempurna itu terlukis di wajahmu.
“Alangkah bahagianya jika bisa
melihat kau tersenyum,” bisikku.
“Alangkah baiknya jika waktu
berhenti sekarang juga,” balasmu.
Senja mulai menua, lampu-lampu
taman di sekitar danau sudah mulai menyala. Sekali lagi, aku masih tak ingin beranjak.
“Kapan kau akan pergi?” tanyaku.
“Lusa, penerbangan pertama.”
Jawabmu datar.
“Aku akan mengantarmu ke
bandara.” Ujarku yang kau sambut dengan senyum dan anggukan.
Airport International Ngurah Rai
menjadi tempat terakhir dimana ada aku_kamu_kita. Ya, hari itu semua memang
harus berakhir. Tak ada alasan untuk tinggal, yang tersisa hanya keharusan
untuk pergi.
“Apa kau percaya kalau cinta tak
harus memiliki?”, tanyamu padaku memecah kediaman di antara kita.
“Percaya.” Jawabku yakin.
“Bagaimana jika seseorang yang
kau cintai dan mencintaimu memutuskan untuk berpisah?”, tanyamu lagi.
Aku terdiam. Dan tetiba aku
merasa ada sesuatu yang remuk di balik dadaku.
“Maksudmu apa?kita akan
berpisah?” tanyaku padamu, dan menatap wajahmu tepat di kedua matamu.
“Maafkan aku, yu, aku harus
memilih satu diantara kalian.” Ujarmu menunduk.
“Jadi, siapa yang akan kamu
pilih, Dave?”
“Aku memilihnya. Tapi satu hal
yang perlu kamu tahu, yu. Aku sungguh-sungguh mencintaimu," aku terdiam tak menunjukkan ekspresi apa-apa.
“Ku mohon kamu mau mengerti yu,
kita akan terpisah oleh milyaran jarak bahkan waktu. “
“Maafkan aku yu, kalau aku
terlalu egois, mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita. Bukankah kamu percaya
bahwa cinta tak harus memiliki.”
“Ya, aku percaya. Aku tahu ini
yang terbaik untuk kita. Dan aku rela berkorban demi seseorang yang aku cintai,
meski harus mengorbankan cintaku sendiri.” Kataku mantap. Aku mencoba untuk
tersenyum, dan menggenggam tanganya erat seolah ingin meyakinkan atas keputusan
yang tlah ia buat.
“Makasih yu, atas kebersamaan kita
selama ini.” Katamu sambil memeluku erat sekali.
Dan hari itu punggung kita saling
menjauh. Kepala kami tak pernah lagi saling menoleh. Yang tersisa hanyalah
sebuah kenangan manis antara kita.
.
~000~
Dan malam ini aku merasa sendiri,
sepi dan hening seperti sebelumnya. Sudah setahun semenjak perpisahan kita sore
itu, tapi sepertinya baru kemarin aku rasa. Aku merindukanmu malam ini, makanya
aku kembali memutar kembali kenangan-kenangan indah bersamamu, yang tersimpan
dalam layar memoriku.
Kenangan indah itu ada di sini,
di bawah pohon Akasia, di bangku kayu panjang yang menghadap ke danau. Tempat
kita sering bercengkrama, bercerita tentang apapun setelah seharian penuh
bergelut dengan peluh.
“Kau bisa menghapus kenangan kita
dengan mudah, sementara aku masih begitu mengingatnya."
Kemudian aku tersadar, malam
mulai meranggas, perlahan tetapi pasti mengusir senja bersama mentari di ufuk
barat. Dan akupun beranjak dari tempatku terduduk.
0 komentar:
Posting Komentar